Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya. Di masa lalu, tentara VOC dan juga Belanda sering berpatroli mengelilingi dindingnya.
Sekarang, benteng ini menjadi sebuah museum. Di sejumlah bangunan di dalam benteng ini terdapat diorama mengenai sejarah Indonesia
Sejarah
ba Masa Belanda
Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berrhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Nama Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta.Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolaas Harting, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en Directeur van Java’s noordkust) sejak bulan Maret 1754.
Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. Sedang Kasunanan Surakarta diperintah oleh Paku Buwono III.
Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka hutan Beringan yang terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilyah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada j=zaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.
Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantinya dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “ Kota yang aman dan tenteram”.
Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah pula seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di saat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal”. Dalam tahun jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.
Setelah kraton mulai ditempati kemudian segera disusul berdiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1756. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 1762. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.
Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng stragi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng, dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara).
Menurut penuturan Nicolas Harting seorang Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang.Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H. Ossenberch menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin kemanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan han dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi dalam pembangun kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.
Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian”. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut “seleka” atau “bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda (1942) adalah sebagai berikut :
Tahun 1760 – 1765
Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.Tahun 1765 – 1788
Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Usul Gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.Tahun 1788 – 1799
Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga secara de facto menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda.Tahun 1799 – 1807
Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.Tahun 1807 – 1811
Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijk Holland. Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Daendels.Tahun 1811 – 1816
Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris dibawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.Tahun 1816 – 1942
Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.Masa Jepang
Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatera yaitu Dumai, Pakan Baru dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Hingga akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (Nipon Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.
Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memberlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga di pusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Disamping itu benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.
Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
Masa Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.
Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun vasilitas lain milik Jepang, benteng Vredeburg juga menjadi salah satu sasaran aksi. Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” dibawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.
Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.
Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor TKR yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie Voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Disamping itu Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan juga dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya.
Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti Kantor Pos, Stasiun Kereta Api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan Tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 (enam) jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan Tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya.
Meski mampu menduduki kota Yogyakarta hanya sekitar 6 jam, namun secara politis serangan tersebut mempunyai arti yang luar biasa. Kebohongan Belanda yang selama ini ditutup-tutupi akhirnya terbongkar, dan terbukalah mata dunia internasional. Sehingga berawal dari persetujuan Roem – Royen (7 Mei 1949), akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda terpaksa mengakui Kedaulatan RIS setelah sebelumnya harus melalui proses yang panjang di KMB (Koferensi Meja Bundar) yang berlangsung pada tanggal 23 Agustus – 2 Nopember 1949. Proses itu tidak dapat dipisahkan dengan peran besar pemancar radio gerilya di Banaran, Playen, Gunung Kidul, yaitu Radio AURI PC-2.
Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Militer Akademi Yogyakarta. Pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan gagasannya agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S / PKI tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S / PKI yang langsung berada dibawah pengawasan HANKAM.
Rencana pelestarian bangunan Benteng Vredeburg mulai lebih terlihat nyata setelah tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Setelah diadakan penelitian maka usaha kearah pemugaran bangunan bekas Benteng Vredeburg pun segera dimulai.
Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan piagam perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud) sebagai pihak II tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg. Dengan pertimbangan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg tersebut merupakan bangunan bersejarah yang sangat besar artinya maka pada tahun 1981 bangunan bekas Benteng Vredeburg di tetapkan sebagai benda cagar budaya berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981. Tentang pemanfaatan bangunan Benteng Vredeburg, dipertegas lagi oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud RI) tanggal 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum Perjuangan Nasional yang pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sesuai dengan Piagam Perjanjian serta surat Sri Sultan Hamengku Buwono IX Nomor 359/HB/85 tanggal 16 April 1985 menyebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang bagi gedung-gedung di dalam komplek benteng Vredeburg diijinkan sesuai dengan kebutuhan sebagai sebuah museum. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan bekas benteng dan kemudian dijadikan museum. Tahun 1987 museum telah dapat dikunjungi oleh umum. Pada tanggal 23 November 1992 bangunan bekas Benteng Vredeburg secara resmi menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (ketika itu Prof. Dr. Fuad Hasan) Nomor 0475/O/1992 dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif cultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta.
Secara kronologis perkembangan status tanah dan pemanfaatan benteng Vredeburg sejak Proklamasi Kemerdekaan (1945) sampai dengan dimanfaatkan sebagai museum khusus sejarah perjuangan sebagai berikut :
Tahun 1945 – 1977
Status tanah benteng masih tetap milik kasultanan Yogyakarta. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan RI tahun 1945, benteng diambil alih oleh instansi militer RI. Tahun 1948 benteng sempat sementara diambil alih oleh Belanda pada waktu agresi militernya yang kedua (19 Desember 1948). Waktu Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk sesaat TNI berhasil menguasai daerah sekitar Benteng Vredeburg. Tetapi tidak lama kemudian berhasil dikuasai kembali oleh Belanda sampai dengan Penarikan Belanda dari Yogyakarta sebagai hasil persetujuan Roem-Royen (7 Mei 1949). Selanjutnya Benteng Vredeburg dibawah pengelolaan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).Tahun 1977 – 1992
Dalam periode ini status penguasaan dan pengelolaan benteng pernah diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta. Tanggal 9 Agustus 1980 diadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX (pihak I) dan Mendibud Dr. Daud Jusuf (pihak II). Kemudian dikuatkan dengan pernyataan Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984, bahwa bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai sebuah museum. Tahun 1985 Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengijinkan diadakannya perubahan bangunan sesuai dengan kebutuhannya. Tahun 1987 museum dapat dikunjungi oleh umum.Pada periode ini Benteng Vredeburg pernah dipergunakan sebagai ajang Jambore Seni (26 – 28 Agustus 1978), Pendidikan dan latihan Dodiklat POLRI. Juga pernah dipergunakan sebagai markas Garnizun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403. Meski demikian secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar